Peletak dasar-dasar ilmu bedah
modern itu bernama Al-Zahrawi (936 M-1013 M). Orang barat mengenalnya sebagai
Abulcasis. Al-Zahrawi adalah seorang dokter bedah yang amat fenomenal. Karya
dan hasil pemikirannya banyak diadopsi para dokter di dunia barat.
“Prinsip-prinsip ilmu kedokteran yang diajarkan Al-Zahrawi menjadi kurikulum
pendidikan kedokteran di Eropa,” ujar Dr. Campbell dalam History of Arab
Medicine. Ahli bedah yang termasyhur hingga ke abad 21 itu bernama lengkap Abu
al-Qasim Khalaf ibn al-Abbas Al-Zahrawi. Ia terlahir pada tahun 936 M di kota
Al-Zahra, sebuah kota berjarak 9,6 km dari Cordoba, Spanyol. Al-Zahrawi
merupakan keturunan Arab Ansar yang menetap di Spanyol. Di kota Cordoba inilah
dia menimba ilmu, mengajarkan ilmu kedokteran, mengobati masyarakat, serta mengembangkan
ilmu bedah bahkan hingga wafat.
Biografi dan Profil Al-Zahrawi
Kisah masa kecilnya tak banyak terungkap. Sebab, tanah kelahirannya Al-Zahra dijarah dan dihancurkan. Sosok dan kiprah Al-Zahrawi baru terungkap ke permukaan, setelah ilmuwan Andalusia Abu Muhammad bin Hazm (993M-1064M) menempatkannya sebagai salah seorang dokter bedah terkemuka di Spanyol. Sejarah hidup alias biografinya baru muncul dalam Al-Humaydi’s Jadhwat al Muqtabis yang baru rampung setelah enam dasa warsa kematiannya.
Al-Zahrawi mendedikasikan separuh abad masa hidupnya untuk praktik dan mengajarkan ilmu kedokteran. Sebagai seorang dokter termasyhur, Al-Zahrawi pun diangkat menjadi dokter istana pada era kekhalifahan Al-Hakam II di Andalusia. Berbeda dengan ilmuwan muslim kebanyakan, Al-Zahrawi tak terlalu banyak melakukan perjalanan. Ia lebih banyak mendedikasikan hidupnya untuk merawat korban kecelakaan serta korban perang.
Para dokter di zamannya mengakui bahwa Al-Zahrawi adalah seorang dokter yang jenius terutama di bidang bedah. Jasanya dalam mengembangkan ilmu kedokteran sungguh sangat besar. Al-Zahrawi meninggalkan sebuah ‘harta karun’ yang tak ternilai harganya bagi ilmu kedokteran yakni berupa kitab Al-Tasrif li man ajaz an-il-talil—sebuah ensiklopedia kedokteran. Kitab yang dijadikan materi sekolah kedokteran di Eropa itu terdiri dari 30 volume.
Dalam kitab yang diwariskannya bagi peradaban dunia itu, Al-Zahrawi secara rinci dan lugas mengupas tentang ilmu bedah, orthopedic, opththalmologi, farmakologi, serta ilmu kedokteran secara umum. Ia juga mengupas tentang kosmetika. Al-Zahrawi pun ternyata begitu berjasa dalam bidang kosmetika. Sederet produk kosmetika seperti deodorant, hand lotion, pewarna rambut yang berkembang hingga kini merupakan hasil pengembangan dari karya Al-Zahrawi.
Popularitas Al-Zahrawi sebagai dokter bedah yang andal menyebar hingga ke seantero Eropa. Tak heran, bila kemudian pasien dan anak muda yang ingin belajar ilmu kedokteran dari Abulcasis berdatangan dari berbagai penjuru Eropa. Menurut Will Durant, pada masa itu Cordoba menjadi tempat favorit bagi orang-orang Eropa yang ingin menjalani operasi bedah. Di puncak kejayaannya, Cordoba memiliki tak kurang dari 50 rumah sakit yang memberikan pelayanan prima.
Sebagai seorang guru ilmu kedokteran, Al-Zahrawi begitu mencintai murid-muridnya. Dalam Al-Tasrif, dia mengungkapkan kepedulian terhadap kesejahteraan siswanya. Al-Zahrawi pun mengingatkan kepada para muridnya tentang pentingnya membangun hubungan yang baik dengan pasien. Menurut Al-Zahrawi, seorang dokter yang baik haruslah melayani pasiennya sebaik mungkin tanpa membedakan status sosialnya.
Dalam menjalankan praktik kedokterannya, Al-Zahrawi menanamkan pentingnya observasi tertutup dalam kasus-kasus individual. Hal itu dilakukan untuk tercapainya diagnosis yang akurat serta kemungkinan pelayanan yang terbaik. Al-Zahrawi pun selalu mengingatkan agar para dokter berpegang pada norma dan kode etik kedokteran, yakni tak menggunakan profesi dokter hanya untuk meraup keuntungan materi.
Menurut Al-Zahrawi profesi dokter
bedah tak bisa dilakukan sembarang
orang. Pada masa itu, dia kerap mengingatkan agar masyarakat tak melakukan
operasi bedah kepada dokter atau dukun yang mengaku-ngaku memiliki keahlian
operasi bedah. Hanya dokter yang memiliki keahlian dan bersertifikat saja yang
boleh melakukan operasi bedah. Mungkin karena itulah di era modern ini muncul
istilah dokter spesialis bedah (surgeon).
Kehebatan dan profesionalitas Al-Zahrawi sebagai seorang ahli bedah diakui para dokter di Eropa. “Tak diragukan lagi, Al-Zahrawi adalah kepala dari seluruh ahli bedah.” Ucap Pietro Argallata. Kitab Al-Tasrif yang ditulisnya lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard of Cremona pada abad ke-12 M. Kitab itu juga dilengkapi dengan ilustrasi. Kitab itu menjadi rujukan dan buku resmi sekolah kedokteran dan para dokter serta ahli bedah Eropa selama lima abad lamanya pada periode abad pertengahan.
Sosok dan pemikiran Al-Zahrawi begitu dikagumi para dokter serta mahasiswa kedokteran di Eropa. Pada abad ke-14, seorang ahli bedah Perancis bernama Guy de Chauliac mengutip Al-Tasrif hampir lebih dari 200 kali. Kitab Al-Tasrif terus menjadi pegangan para dokter di Eropa hingga terciptanya era Renaissance. Hingga abad ke-16, ahli bedah berkebangsaan Prancis, Jaques Delechamps (1513M-1588M) masih menjadikan Al-Tasrif sebagai rujukan.
Al-Zahrawi tutup usia di kota Cordoba pada tahun 1013M—dua tahun setelah tanah kelahirannya dijarah dan dihancurkan. Meski Cordoba kini bukan lagi menjadi kota bagi umat Islam, namun namanya masih diabadikan menjadi nama jalan kehormatan yakni ‘Calle Albucasis’. Di jalan itu terdapat rumah nomor 6 –yakni rumah tempat Al-Zahrawi pernah tinggal . Kini rumah itu menjadi cagar budaya yang dilindungi Badan Kepariwisataan Spanyol.
Kehebatan dan profesionalitas Al-Zahrawi sebagai seorang ahli bedah diakui para dokter di Eropa. “Tak diragukan lagi, Al-Zahrawi adalah kepala dari seluruh ahli bedah.” Ucap Pietro Argallata. Kitab Al-Tasrif yang ditulisnya lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard of Cremona pada abad ke-12 M. Kitab itu juga dilengkapi dengan ilustrasi. Kitab itu menjadi rujukan dan buku resmi sekolah kedokteran dan para dokter serta ahli bedah Eropa selama lima abad lamanya pada periode abad pertengahan.
Sosok dan pemikiran Al-Zahrawi begitu dikagumi para dokter serta mahasiswa kedokteran di Eropa. Pada abad ke-14, seorang ahli bedah Perancis bernama Guy de Chauliac mengutip Al-Tasrif hampir lebih dari 200 kali. Kitab Al-Tasrif terus menjadi pegangan para dokter di Eropa hingga terciptanya era Renaissance. Hingga abad ke-16, ahli bedah berkebangsaan Prancis, Jaques Delechamps (1513M-1588M) masih menjadikan Al-Tasrif sebagai rujukan.
Al-Zahrawi tutup usia di kota Cordoba pada tahun 1013M—dua tahun setelah tanah kelahirannya dijarah dan dihancurkan. Meski Cordoba kini bukan lagi menjadi kota bagi umat Islam, namun namanya masih diabadikan menjadi nama jalan kehormatan yakni ‘Calle Albucasis’. Di jalan itu terdapat rumah nomor 6 –yakni rumah tempat Al-Zahrawi pernah tinggal . Kini rumah itu menjadi cagar budaya yang dilindungi Badan Kepariwisataan Spanyol.
Sang penemu puluhan alat bedah modern
Selama separuh abad mendedikasikan dirinya untuk pengembangan ilmu kedokteran khususnya bedah, Al-Zahrawi telah menemukan puluhan alat bedah modern. Dalam kitab Al-Tasrif, ‘bapak ilmu bedah’ itu memperkenalkan lebih dari 200 alat bedah yang dimilikinya. Di antara ratusan koleksi alat bedah yang dipunyainya, ternyata banyak peralatan yang tak pernah digunakan ahli bedah sebelumnya.
Menurut catatan, selama karirnya Al-Zahrawi telah menemukan 26 peralatan bedah. Salah satu alat bedah yang ditemukan dan digunakan Al-Zahrawi adalah catgut. Alat yang digunakan untuk menjahit bagian dalam itu hingga kini masih digunakan ilmu bedah modern. Selain itu, juga menemukan forceps untuk mengangkat janin yang meninggal. Alat itu digambarkan dalam kitab Al-tasrif.
Dalam Al-Tasrif, Al-Zahrawi juga memperkenalkan penggunaan ligature (benang pengikat luka) untuk mengontrol pendarahan arteri. Jarum bedah ternyata juga ditemukan dan dipaparkan secara jelas dalam Al-Tasrif. Selain itu, Al-Zahrawi juga memperkenalkan sederet alat bedah lain hasil penemuannya.
Peralatan penting untuk bedah yang ditemukannya itu antara lain, pisau bedah (scalpel), curette, retractor, sendok bedah (surgical spoon), sound, pengait bedah (surgical hook), surgical rod, dan specula. Tak cuma itu, Al-Zahrawi juga menemukan peralatan bedah yang digunakan untuk memeriksa dalam uretra, alat untuk memindahkan benda asing dari tenggorokan serta alat untuk memeriksa telinga. Kontribusi Al-Zahrawi bagi dunia kedokteran khususnya bedah hingga kini tetap dikenang dunia.
AL JAZARI
Al Jazari (1136 M – 1206M), adalah ilmuwan Muslim penemu
pertama konsep Robotika Modern. Ia mengembangkan prinsip hidrolik untuk
menggerakkan mesin yang kemudian pada zaman ini dikenal sebagai mesin robot.
Nama lain Al-Jazari adalah Badi Al-Zaman Abullezz Ibn
Alrazz Al-Jazari atau Ibnu Ismail Al Jazari atau bisa disapa Al Jazari atau
Aljazar.
Ia dipanggil Al-Jazari karena lahir di Al-Jazira, sebuah
wilayah yang terletak di antara Tigris dan Efrat, Irak.
Seperti ayahnya ia mengabdi pada raja-raja Urtuq atau
Artuqid di Diyar Bakir dari 1174 sampai 1200 sebagai ahli teknik.
”Tak mungkin mengabaikan hasil karya Al-Jazari yang
begitu penting. Dalam bukunya, ia begitu detail memaparkan instruksi untuk
mendesain, merakit, dan membuat sebuah mesin”, begitulah pendapat Donald Hill.
Kalimat di atas merupakan komentar Donald Hill, seorang
ahli teknik asal Inggris yang tertarik dengan sejarah teknologi, atas buku
karya ahli teknik Muslim yang ternama, Al-Jazar.
Al Jazari merupakan seorang tokoh besar dibidang mekanik
dan industri. Lahir di Al Jazira, yang terletak diantara sisi utara Irak dan
timur laut Syiria, tepatnya antara Sungai tigris dan Efrat.
Konsep rancangan paling lengkap dan detail
Al-Jazari merupakan ahli teknik yang luar biasa pada
masanya. Dia tinggal di Diyar Bakir, Turki, selama abad-12. Ibnu Ismail Ibnu
Al-Razzaz al-Jazari mendapat julukan sebagai Bapak ‘Modern Engineering’
berkat temuan-temuannya yang banyak mempengaruhi rancangan mesin-mesin modern
saat ini, diantaranya combustion engine, crankshaft, suction pump,
programmable automation, dan banyak lagi.
Donald Routledge dalam bukunya Studies in Medieval
Islamic Technology, mengatakan bahwa hingga zaman modern ini, tidak satupun
dari suatu kebudayaan yang dapat menandingi lengkapnya instruksi untuk
merancang, memproduksi dan menyusun berbagai mesin sebagaimana yang pernah
disusun oleh Al-Jazari.
Pada 1206 ia merampungkan sebuah karya dalam bentuk buku
yang berkaitan dengan dunia teknik.
Beliau mendokumentasikan lebih dari 50 karya temuannya,
lengkap dengan rincian gambar-gambarnya dalam buku, “al-Jami Bain al-Ilm Wal
‘Aml al-Nafi Fi Sinat ‘at al-Hiyal” (The Book of Knowledge of Ingenious
Mechanical Devices).
Bukunya ini berisi tentang teori dan praktik mekanik.
Karyanya ini sangat berbeda dengan karya ilmuwan lainnya, karena dengan
piawainya Al-Jazari membeberkan secara detail hal yang terkait dengan mekanika
dan merupakan kontribusi yang sangat berharga dalam sejarah teknik.
Keunggulan buku tersebut mengundang decak kagum dari ahli
teknik asal Inggris, Donald Hill (1974). Donald berkomentar bahwa dalam
sejarah, begitu pentingnya karya Al-Jazari tersebut. Pasalnya, kata dia, dalam
buku Al-Jazari, terdapat instruksi untuk merancang, merakit, dan membuat mesin.
Rancangan Jam Gajah”Humanoid Automation” dipamerkan di
London
Di tahun 1206, al-Jazari membuat jam gajah yang bekerja
dengan tenaga air dan berat benda untuk menggerakkan secara otomatis sistem
mekanis, yang dalam interval tertentu akan memberikan suara simbal dan burung
berkicau. Prinsip humanoid automation inilah yang mengilhami
pengembangan robot masa sekarang.
Kini replika jam gajah tersebut disusun kembali oleh London
Science Museum, sebagai bentuk penghargaan atas karya besarnya. Pada acara World
of Islam Festival yang diselenggarakan di Inggris pada 1976, banyak orang
yang berdecak kagum dengan hasil karya Al-Jazari. Pasalnya, Science Museum
merekonstruksi kerja gemilang Al-Jazari, yaitu jam air
Ketertarikan Donald Hill terhadap karya Al-Jazari
membuatnya terdorong untuk menerjemahkan karya Al-Jazari pada 1974, atau 6 abad
dan 68 tahun setelah pengarangnya menyelesaikan karyanya.
Tulisan Al-Jazari juga dianggap unik karena memberikan
gambaran yang begitu detail dan jelas.
Sebab ahli teknik lainnya lebih banyak mengetahui teori
saja atau mereka menyembunyikan pengetahuannya dari orang lain. Bahkan ia pun
menggambarkan metode rekonstruksi peralatan yang ia temukan.
Karyanya juga dianggap sebagai sebuah manuskrip terkenal
di dunia, yang dianggap sebagai teks penting untuk mempelajari sejarah
teknologi.
Isinya diilustrasikan dengan miniatur yang menakjubkan.
Hasil kerjanya ini kerap menarik perhatian bahkan dari dunia Barat. Dengan
karya gemilangnya, ilmuwan dan ahli teknik Muslim ini telah membawa masyarakat
Islam pada abad ke-12 pada kejayaan. Ia hidup dan bekerja di Mesopotamia selama
25 tahun. Ia mengabdi di istana Artuqid, kala itu di bawah naungan Sultan Nasir
al-Din Mahmoud.
Gerakan roda air yang ada dalam mesin itu menggerakan
piston yang saling berhubungan.
Kemudian, silinder piston tersebut terhubung dengan pipa
penyedot. Dan pipa penyedot selanjutnya menyedot air dari sumber air dan
membagikannya ke sistem pasokan air.
Pompa ini merupakan contoh awal dari double-acting
principle. Taqi al-Din kemudian menjabarkannya kembali mesin kelima dalam
bukunya pada abad keenam belas.
IBNU NAFIS
Nama lengkap Ibnu Nafis adalah al-Din Abu al-Hasan Ali Ibn Abi
al-Hazm al-Qarshi al-Dimashqi. Selain itu, ia juga mempunyai nama panggilan
lain, yaitu The Second Avicenna (Ibnu Sina Kedua), yang diberikan oleh
para pengagumnya. Ibnu Nafis lahir pada tahun 1213 di Damaskus. Ia menghabiskan
masa kecilnya di kota tersebut hingga menjelang dewasa.
Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya, Ibnu Nafis menempuh
pendidikan kedokteran di Medical College Hospital. Gurunya adalah Muhalthab
al-Din Abd al-Rahim. Selain itu, ia juga mempelajari hukum Islam. Di kemudian
hari, selain sebagai dokter, Ibnu Nafis juga dikenal sebagai pakar hukum Islam
bermazhab Syafi'i. Pada tahun 1236, setelah menyelesaikan pendidikannya di
bidang kedokteran dan hukum Islam, Ibnu Nafis meninggalkan tanah kelahirannya
menuju Kairo, Mesir. Di sana, ia belajar di Rumah Sakit al-Nassiri. Prestasinya
yang gemilang membuat ia kemudian ditunjuk sebagai direktur rumah sakit
tersebut.
Sebagai seorang dokter, Ibnu Nafis tidak pernah merasa puas
dengan ilmu kedokteran yang dimilikinya. Ia terus memperkaya pengetahuannya
melalui berbagai observasi. Hal inilah yang membuat namanya terkenal. Ia adalah
dokter pertama yang mampu menerangkan secara tepat tentang paru-paru dan
memberikan gambaran mengenai saluran pernapasan, juga interaksi antara saluran
udara dengan darah dalam tubuh manusia. Ibnu Nafis dikenal sebagai seorang
dokter muslim yang mempunyai pendapat dan pemikiran yang masih murni, terbebas
dari berbagai pengaruh Barat.
Dalam studinya, Ibnu Nafis menggunakan beberapa metode, yaitu
observasi, survei, dan percobaan. Ia mempelajari ilmu kedokteran melalui
pengamatan terhadap sejumlah gejala dan unsur yang mempengaruhi tubuh. Menurut
Ibnu Nafis, selain melakukan pengobatan, memeriksa unsur-unsur penyebab munculnya
penyakit juga perlu. Selain itu, ia juga memaparkan mengenai fungsi pembuluh
arteri dalam jantung sebagai pemasok darah bagi otot jantung (Cardiac
Musculature). Penemuannya mengenai peredaran darah di paru-paru ini
merupakan penemuan yang menarik. Sehubungan dengan hal itu, Nafis dianggap
telah memberikan pengaruh besar bagi perkembangan ilmu kedokteran Eropa pada
abad XVI. Lewat penemuannya tersebut, para ilmuwan menganggapnya sebagai tokoh
pertama dalam ilmu sirkulasi darah.
Salah satu karya terbaik Ibnu Nafis adalah Commentary on the Anatomy of Canon of Avicenna. Buku ini merupakan rangkuman hasil pemikiran Ibnu Nafis mengenai anatomi, patologi, dan fisiologi. Karya tersebut berhasil mengungkap sebuah fakta ilmiah penting, yang kemudian diabaikan begitu saja, yaitu gambaran tentang peredaran darah paru-paru. Salah satu ilmuwan Barat yang mempelajari pengobatan Arab di Jerman menyatakan bahwa catatan tersebut merupakan salah satu karya ilmiah terbaik, meskipun sebelumnya telah ada teori yang hampir sama yang dilontarkan oleh Galen pada abad II. Teori tersebut menerangkan bahwa darah mengalir dari bilik kanan jantung ke bilik kiri jantung melalui pori-pori yang terdapat pada katup jantung.
Ibnu Nafis menghembuskan nafas terakhirnya pada tahun 1288.
Minat manusia
terhadap kejadian angkasa dan alam semesta telah bermula sejak ribuan tahun
yang lalu. Di kalangan pengembara dan pelayar, mereka menjadikan bintang yang
terdapat langit sebagai "kompas" dan pemandu arah kepada perjalanan
mereka supaya tidak tersesat di padang pasir serta lautan yang terbentang luas.
Keadaan langit yang cerah dan tidak berawan pada waktu malam di kawasan gurun
membolehkan kerdipan bintang dilihat dengan jelas. Ini telah menimbulkan bukan
sahaja perasaan takjub tetapi juga ingin tahu kepada mereka yang mahu
menggunakan akalnya untuk memikirkan segala kejadian Tuhan.
Seruan supaya manusia sentiasa berfikir, mengkaji dan menuntut ilmu terkandung di dalam ajaran Islam. Sebab itu, apabila Islam bertapak di tanah Arab, ilmu pengetahuan, seperti falsafah, sains, astronomi dan seni turut mengalami perkembangan yang pesat. Kelahiran para cendikiawan Islam dalam bidang-bidang tersebut merupakan bukti yang kukuh bahawa Islam menggalakkan umatnya sentiasa mencari ilmu pengetahuan hatta sampai ke negara China sekalipun.
Di zaman kegemilangan Islam, tamadun dan pusat ilmunya menjadi rujukan kepada para sarjana yang datang dari timur dan barat. Pada masa itu, barat masih berada di dalam zaman kegelapan. Pengetahuan sains, matematik, falsafah, perubatan dan sebagainya masih belum lagi berkembang luas. Berbanding dunia Islam yang telah berjaya menghasilkan sejumlah ahli sains yang cukup terkenal di dalam bidang masing-masing. Salah seorang daripada mereka ialah Al Battani atau lebih dikenali di barat sebagai Albategnieus. Beliau dilahirkan pada 230 Hijrah atau 854 Masihi. Nama asalnya ialah Abu Abdullah Muhammad ibn Jabir ibn Sinan al-Harrani al-Raqi. Al Battani merupakan gelaran yang diberikan kepada beliau bersempena tempat kelahirannya di Battan.
Sumbangan terbesar beliau kepada dunia sains ialah dalam bidang falak di mana Al-Battani telah menghabiskan sebahagian besar hidupnya membina pusat kajian cakerawala di Rakyah. Beliau telah mengemukakan kaedah pengukuran bintang di cakerawala menggunakan garis lengkuk. Sebelum itu, para saintis Yunani telah memperkenalkan pengukuran bintang menggunakan tali. Pengukuran Al-Battani itu didapati lebih tepat dan praktikal kerana ia berdasarkan kepada teori tangen dan kotangen yang ditemuinya.
Namun begitu, barat tidak pernah memberi penghargaan kepada Al-Battani berhubung penemuan teorinya itu. Sebaliknya mereka menceduk dan "mencuri" teori Al-Battani serta mengubahsuai dan menukarnya kepada istilah Yunani ialah sine yang berasal daripada kata dasar "sinus". Dalam teorinya, Al-Battani telah membahagikan garis kotangen kepada 12 berdasarkan kepada formula seperti berikut:
Kos a
Kot a = ---- 12
Sin a
Kot "a" yang terdapat dalam formula itu merujuk kepada satu hari yang dibahagi 12. Kos "a" pula merupakan perjalanan matahari dalam sehari. Sin "a" pula adalah istilah bagi mewakili perjalanan malam yang sama waktunya dengan Kos "a" iaitu waktu siang. Berdasarkan kepada formula ini, sekiranya Kos a + Sin a hasilnya ialah 24 jam. Jikalau Kos a - Sin a maka hasilnya ialah 12 jam pada waktu siang dan malam.
Perhitungan yang digunakan oleh Al-Battani ini masih digunakan sehingga ke hari ini dan menjadi asas kepada penciptaan jam yang digunakan dalam kehidupan kita seharian. Teori yang dikemukakan oleh beliau ternyata mendahului zamannya dan merupakan satu penemuan yang cukup besar serta merubah perjalanan sejarah dan ilmu pengetahuan manusia. Bagaimanapun usaha Al-Battani itu tidak pernah diberikan pengiktirafan yang sewajarnya oleh saintis barat. Beliau bukan sahaja dinafikan hak ciptanya ke atas teori tersebut tetapi juga kaedah "algorism" atau "algorithm" yang dirintis oleh beliau.
Nasib yang serupa juga dihadapi oleh seorang ahli falak yang hidup sezaman dengan Al-Battani yang bernama Al-Habash pernah cuba menbahagikannya kepada 60 bahagian sebagai asas kepada penghitungan 60 saat bagi satu minit dan 60 minit sebagai satu jam. Tetapi yang menjadi masalah ialah pembahagian 60 jam tidak sama dengan satu hari yang mengandungi 24 jam sahaja. Jadi, teori Habash dikatakan gagal dan sumbangannya di dalam bidang falak tidak lagi pernah disebut dan menjadi sebutan.
Walhal sumbangan dan jasa Al-Habash dan Al-Battani cukup banyak serta tidak terbatas kepada ilmu falak semata-mata. Al-Battani sesungguhnya merupakan seorang saintis Islam yang terulung dan tiada tolok bandingannya di dalam bidang matematik, geometri dan fizik. Dalam bukunya yang berjudul "al-Mijisti", beliau telah membetulkan beberapa kesilapan yang dibuat oleh Batlaimus, seorang saintis Yunani. Buku ini bukan sekadar menerangkan konsep dan kepentingan cakerawala tetapi juga menunjukkan cara-cara untuk mengukur perjalanan planet serta bintang.
Walaupun peralatan pada zaman Al-Battani tidak semaju dan secanggih zaman ini tetapi beliau telah membuktikan kebenaran ajaran Islam bahawa akal merupakan sebaik-baik kurniaan Tuhan kepada mahklukNya. Melalui pemerhatian dan pengkajiannya terhadap bintang di langit akhirnya Al-Battani menemui beberapa teori yang ternyata amat berguna dan memberikan manfaat yang besar kepada umat manusia seluruhnya. Jadi adalah tidak keterlaluan kalau dikatakan bahawa Al-Battani layak digelar sebagai Bapa Ilmu Falak dan Astronomi Moden kerana sumbangannya dalam bidang ini telah merintis jalan kepada berbagai-bagai penemuan lain dan penerokaan untuk membongkarkan rahsia alam semesta
Seruan supaya manusia sentiasa berfikir, mengkaji dan menuntut ilmu terkandung di dalam ajaran Islam. Sebab itu, apabila Islam bertapak di tanah Arab, ilmu pengetahuan, seperti falsafah, sains, astronomi dan seni turut mengalami perkembangan yang pesat. Kelahiran para cendikiawan Islam dalam bidang-bidang tersebut merupakan bukti yang kukuh bahawa Islam menggalakkan umatnya sentiasa mencari ilmu pengetahuan hatta sampai ke negara China sekalipun.
Di zaman kegemilangan Islam, tamadun dan pusat ilmunya menjadi rujukan kepada para sarjana yang datang dari timur dan barat. Pada masa itu, barat masih berada di dalam zaman kegelapan. Pengetahuan sains, matematik, falsafah, perubatan dan sebagainya masih belum lagi berkembang luas. Berbanding dunia Islam yang telah berjaya menghasilkan sejumlah ahli sains yang cukup terkenal di dalam bidang masing-masing. Salah seorang daripada mereka ialah Al Battani atau lebih dikenali di barat sebagai Albategnieus. Beliau dilahirkan pada 230 Hijrah atau 854 Masihi. Nama asalnya ialah Abu Abdullah Muhammad ibn Jabir ibn Sinan al-Harrani al-Raqi. Al Battani merupakan gelaran yang diberikan kepada beliau bersempena tempat kelahirannya di Battan.
Sumbangan terbesar beliau kepada dunia sains ialah dalam bidang falak di mana Al-Battani telah menghabiskan sebahagian besar hidupnya membina pusat kajian cakerawala di Rakyah. Beliau telah mengemukakan kaedah pengukuran bintang di cakerawala menggunakan garis lengkuk. Sebelum itu, para saintis Yunani telah memperkenalkan pengukuran bintang menggunakan tali. Pengukuran Al-Battani itu didapati lebih tepat dan praktikal kerana ia berdasarkan kepada teori tangen dan kotangen yang ditemuinya.
Namun begitu, barat tidak pernah memberi penghargaan kepada Al-Battani berhubung penemuan teorinya itu. Sebaliknya mereka menceduk dan "mencuri" teori Al-Battani serta mengubahsuai dan menukarnya kepada istilah Yunani ialah sine yang berasal daripada kata dasar "sinus". Dalam teorinya, Al-Battani telah membahagikan garis kotangen kepada 12 berdasarkan kepada formula seperti berikut:
Kos a
Kot a = ---- 12
Sin a
Kot "a" yang terdapat dalam formula itu merujuk kepada satu hari yang dibahagi 12. Kos "a" pula merupakan perjalanan matahari dalam sehari. Sin "a" pula adalah istilah bagi mewakili perjalanan malam yang sama waktunya dengan Kos "a" iaitu waktu siang. Berdasarkan kepada formula ini, sekiranya Kos a + Sin a hasilnya ialah 24 jam. Jikalau Kos a - Sin a maka hasilnya ialah 12 jam pada waktu siang dan malam.
Perhitungan yang digunakan oleh Al-Battani ini masih digunakan sehingga ke hari ini dan menjadi asas kepada penciptaan jam yang digunakan dalam kehidupan kita seharian. Teori yang dikemukakan oleh beliau ternyata mendahului zamannya dan merupakan satu penemuan yang cukup besar serta merubah perjalanan sejarah dan ilmu pengetahuan manusia. Bagaimanapun usaha Al-Battani itu tidak pernah diberikan pengiktirafan yang sewajarnya oleh saintis barat. Beliau bukan sahaja dinafikan hak ciptanya ke atas teori tersebut tetapi juga kaedah "algorism" atau "algorithm" yang dirintis oleh beliau.
Nasib yang serupa juga dihadapi oleh seorang ahli falak yang hidup sezaman dengan Al-Battani yang bernama Al-Habash pernah cuba menbahagikannya kepada 60 bahagian sebagai asas kepada penghitungan 60 saat bagi satu minit dan 60 minit sebagai satu jam. Tetapi yang menjadi masalah ialah pembahagian 60 jam tidak sama dengan satu hari yang mengandungi 24 jam sahaja. Jadi, teori Habash dikatakan gagal dan sumbangannya di dalam bidang falak tidak lagi pernah disebut dan menjadi sebutan.
Walhal sumbangan dan jasa Al-Habash dan Al-Battani cukup banyak serta tidak terbatas kepada ilmu falak semata-mata. Al-Battani sesungguhnya merupakan seorang saintis Islam yang terulung dan tiada tolok bandingannya di dalam bidang matematik, geometri dan fizik. Dalam bukunya yang berjudul "al-Mijisti", beliau telah membetulkan beberapa kesilapan yang dibuat oleh Batlaimus, seorang saintis Yunani. Buku ini bukan sekadar menerangkan konsep dan kepentingan cakerawala tetapi juga menunjukkan cara-cara untuk mengukur perjalanan planet serta bintang.
Walaupun peralatan pada zaman Al-Battani tidak semaju dan secanggih zaman ini tetapi beliau telah membuktikan kebenaran ajaran Islam bahawa akal merupakan sebaik-baik kurniaan Tuhan kepada mahklukNya. Melalui pemerhatian dan pengkajiannya terhadap bintang di langit akhirnya Al-Battani menemui beberapa teori yang ternyata amat berguna dan memberikan manfaat yang besar kepada umat manusia seluruhnya. Jadi adalah tidak keterlaluan kalau dikatakan bahawa Al-Battani layak digelar sebagai Bapa Ilmu Falak dan Astronomi Moden kerana sumbangannya dalam bidang ini telah merintis jalan kepada berbagai-bagai penemuan lain dan penerokaan untuk membongkarkan rahsia alam semesta
AL FARABI
Al-Farabi dikenal
dengan sebutan "guru kedua" setelah Aristoteles, karena kemampuannya dalam
memahami Aristoteles yang dikenal sebagai guru
pertama dalam Abu Nasir Muhammad bin al-Farakh al-Farabi atau yang lebih
dikenal dengan Al-Farabi adalah ilmuwan dan filsuf Islam yang berasal
dari Farab, Kazakhstan. Ia juga dikenal dengan nama lain Abu Nasir al-Farabi
(dalam beberapa sumber ia dikenal sebagai Abu Nasr Muhammad Ibn Muhammad Ibn
Tarkhan Ibn Uzalah Al- Farabi , juga dikenal di dunia barat sebagai
Alpharabius, Al-Farabi, Farabi, dan Abunasir. 870.
Ayahnya seorang opsir tentara Turki keturunan Persia, sedangkan ibunya berdarah Turki asli. Sejak dini ia digambarkan memiliki kecerdasan istimewa dan bakat besar untuk menguasai hampir setiap subyek yang dipelajari. Pada masa awal pendidikannya ini, al-Farabi belajar al-Qur’an, tata bahasa, kesusasteraan, ilmu-ilmu agama (fiqh, tafsir dan ilmu hadits) dan aritmatika dasar.
Al-Farabi muda belajar ilmu-ilmu islam dan musik di Bukhara, dan tinggal di Kazakhstan sampai umur 50. Ia pergi ke Baghdad untuk menuntut ilmu di sana selama 20 tahun.
Setelah kurang lebih 10 tahun tinggal di Baghdad, yaitu kira-kira pada tahun 920 M, al Farabi kemudian mengembara di kota Harran yang terletak di utara Syria, dimana saat itu Harran merupakan pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil. Ia kemudian belajar filsafat dari Filsuf Kristen terkenal yang bernama Yuhana bin Jilad.
Tahun 940M, al Farabi melajutkan pengembaraannya ke Damaskus dan bertemu dengan Sayf al Dawla al Hamdanid, Kepala daerah (distrik) Aleppo, yang dikenal sebagai simpatisan para Imam Syi’ah. Kemudian al-Farabi wafat di kota Damaskus pada usia 80 tahun (Rajab 339 H/ Desember 950 M) di masa pemerintahan Khalifah Al Muthi’ (masih dinasti Abbasiyyah).
Biografi
Al-Farabi lahir di Wasij, sebuah dusun kecil di kota Farab, Propinsi Transoxiana, Turkestan, sekitar tahun 870. Dia berasal dari keluarga bangsawan-militer Turki.Al-Farabi melewatkan masa remajanya di Farab. Di kota yang mayoritas mengikuti mazhab Syafi’iyah inilah al-Farabi menerima pendidikan dasarnya. Dia digambarkan “sejak dini memiliki kecerdasan istimewa dan bakat besar untuk menguasai hampir setiap subyek yang dipelajari.” Pada masa awal pendidikannya ini, al-Farabi belajar al-Qur’an, tata bahasa, kesusasteraan, ilmu-ilmu agama (fiqh, tafsir dan ilmu hadits) dan aritmetika dasar.Setelah menyelesaikan studi dasarnya,
al-Farabi pindah ke Bukhara untuk menempuh studi lanjut fiqh dan ilmu-ilmu lanjut lainnya. Pada saat itu, Bukhara merupakan ibu kota dan pusat intelektual serta religius dinasti Samaniyah yang menganggap dirinya sebagai bangsa Persia. Pada saat al-Farabi di Bukhara, Dinasti Samaniyah di bawah pemerintahan Nashr ibn Ahmad (874-892). Munculnya Dinasti ini menandai munculnya budaya Persia dalam Islam. Pada masa inilah al-Farabi mulai berkenalan dengan bahasa dan budaya serta filsafat Persia. Juga di Bukhara inilah al-Farabi pertama kali belajar tentang musik. Kepakaran al-Farabi di bidang musik dibuktikan dengan karyanya yang berjudul Kitab al-Musiqa al-Kabir atas permintaan Abu Ja’far Muhammad ibn al-Qasim, Wazir Khalifah al-Radhi tahun 936.Sebelum dia tenggelam dalam karir filsafatnya, terlebih dahulu dia menjadi seorang qadhi. Setelah melepaskan jabatan qadhinya, al-Farabi kemudian berangkat ke Merv untuk mendalami logika Aristotelian dan filsafat. Guru utama al-Farabi adalah Yuhanna ibn Hailan. Di bawah bimbingannya, al-Farabi membaca teks-teks dasar logika Aristotelian, termasuk Analitica Posteriora yang belum pernah dipelajari seorang Muslim pun sebelumnya di bawah bimbingan guru khusus. Dari fakta ini diyakini bahwa al-Farabi telah menguasai bahasa Siria dan Yunani ketika belajar kitab-kitab Aristoteles tersebut karena kitab tersebut baru diterjemah ke dalam bahasa Arab pada tahun-tahun setelah al-Farabi mempelajarinya dalam bahsa aslinya.
Setelah dari Merv, bersama gurunya ia berangkat ke Bagdad sekitar tahun 900. Pada masa kekhalifahan al-Muqtadir (908-932), bersama gurunya ia berangkat ke Konstantinopel untuk lebih memperdalam filsafat. Tapi, sebelumnya ia sempat singgah beberapa waktu lamanya di Harran. Pada rentang tahun 910-920 ia kembali ke Bagdad dan di sana ia menemui Matta ibn Yunus, seorang filosof Nestorian, telah memiki reputasi yang tinggi dalam bidang filsafat dan mampu menarik minat banyak orang dalam kuliah-kuliah umumnya tentang logika Aristotelian. Segera ia bergabung menjadi murid Matta. Akan tetapi, kecemerlangan al-Farabi dengan singkat mampu mengatasi reputasi gurunya dalam bidang logika.
Pada akhir tahun 942, ia pindah ke Damaskus karena situasi politik Bagdad yang memburuk. Dia sempat tinggal di sana selama dua tahun dimana waktunya siang hari digunakan untuk bekerja sebagai penjaga kebun dan malam hari dihabiskan untuk membaca dan menulis karya-karya filsafat. Dengan alasan yang sama, ia pindah ke Mesir untuk pada akhirnya kembali lagi ke Damaskus pada tahun 949. Selama masa tinggal di Damaskus yang kedua ini al-Farabi mendapat perlindungan dari putra mahkota penguasa baru Siria, Saif al-Daulah (w. 967). Dalam perjumpaan pertamanya, Saif al-Daulah sangat terkesan dengan al-Farabi karena kemampuannya dalam bidang filsafat, bakat musiknya serta penguasaannya atas berbagai bahasa. Kehidupan sufi asketik yang dijalaninya membuatnya ia tetap berkehidupan sederhana dengan pikiran dan waktu yang tetap tercurah untuk karir filsafatnya. Akhirnya, pada bulan Desember 950, ia meninggal dunia di tempat ini (Damaskus) pada usia delapan puluh tahun
Ayahnya seorang opsir tentara Turki keturunan Persia, sedangkan ibunya berdarah Turki asli. Sejak dini ia digambarkan memiliki kecerdasan istimewa dan bakat besar untuk menguasai hampir setiap subyek yang dipelajari. Pada masa awal pendidikannya ini, al-Farabi belajar al-Qur’an, tata bahasa, kesusasteraan, ilmu-ilmu agama (fiqh, tafsir dan ilmu hadits) dan aritmatika dasar.
Al-Farabi muda belajar ilmu-ilmu islam dan musik di Bukhara, dan tinggal di Kazakhstan sampai umur 50. Ia pergi ke Baghdad untuk menuntut ilmu di sana selama 20 tahun.
Setelah kurang lebih 10 tahun tinggal di Baghdad, yaitu kira-kira pada tahun 920 M, al Farabi kemudian mengembara di kota Harran yang terletak di utara Syria, dimana saat itu Harran merupakan pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil. Ia kemudian belajar filsafat dari Filsuf Kristen terkenal yang bernama Yuhana bin Jilad.
Tahun 940M, al Farabi melajutkan pengembaraannya ke Damaskus dan bertemu dengan Sayf al Dawla al Hamdanid, Kepala daerah (distrik) Aleppo, yang dikenal sebagai simpatisan para Imam Syi’ah. Kemudian al-Farabi wafat di kota Damaskus pada usia 80 tahun (Rajab 339 H/ Desember 950 M) di masa pemerintahan Khalifah Al Muthi’ (masih dinasti Abbasiyyah).
Biografi
Al-Farabi lahir di Wasij, sebuah dusun kecil di kota Farab, Propinsi Transoxiana, Turkestan, sekitar tahun 870. Dia berasal dari keluarga bangsawan-militer Turki.Al-Farabi melewatkan masa remajanya di Farab. Di kota yang mayoritas mengikuti mazhab Syafi’iyah inilah al-Farabi menerima pendidikan dasarnya. Dia digambarkan “sejak dini memiliki kecerdasan istimewa dan bakat besar untuk menguasai hampir setiap subyek yang dipelajari.” Pada masa awal pendidikannya ini, al-Farabi belajar al-Qur’an, tata bahasa, kesusasteraan, ilmu-ilmu agama (fiqh, tafsir dan ilmu hadits) dan aritmetika dasar.Setelah menyelesaikan studi dasarnya,
al-Farabi pindah ke Bukhara untuk menempuh studi lanjut fiqh dan ilmu-ilmu lanjut lainnya. Pada saat itu, Bukhara merupakan ibu kota dan pusat intelektual serta religius dinasti Samaniyah yang menganggap dirinya sebagai bangsa Persia. Pada saat al-Farabi di Bukhara, Dinasti Samaniyah di bawah pemerintahan Nashr ibn Ahmad (874-892). Munculnya Dinasti ini menandai munculnya budaya Persia dalam Islam. Pada masa inilah al-Farabi mulai berkenalan dengan bahasa dan budaya serta filsafat Persia. Juga di Bukhara inilah al-Farabi pertama kali belajar tentang musik. Kepakaran al-Farabi di bidang musik dibuktikan dengan karyanya yang berjudul Kitab al-Musiqa al-Kabir atas permintaan Abu Ja’far Muhammad ibn al-Qasim, Wazir Khalifah al-Radhi tahun 936.Sebelum dia tenggelam dalam karir filsafatnya, terlebih dahulu dia menjadi seorang qadhi. Setelah melepaskan jabatan qadhinya, al-Farabi kemudian berangkat ke Merv untuk mendalami logika Aristotelian dan filsafat. Guru utama al-Farabi adalah Yuhanna ibn Hailan. Di bawah bimbingannya, al-Farabi membaca teks-teks dasar logika Aristotelian, termasuk Analitica Posteriora yang belum pernah dipelajari seorang Muslim pun sebelumnya di bawah bimbingan guru khusus. Dari fakta ini diyakini bahwa al-Farabi telah menguasai bahasa Siria dan Yunani ketika belajar kitab-kitab Aristoteles tersebut karena kitab tersebut baru diterjemah ke dalam bahasa Arab pada tahun-tahun setelah al-Farabi mempelajarinya dalam bahsa aslinya.
Setelah dari Merv, bersama gurunya ia berangkat ke Bagdad sekitar tahun 900. Pada masa kekhalifahan al-Muqtadir (908-932), bersama gurunya ia berangkat ke Konstantinopel untuk lebih memperdalam filsafat. Tapi, sebelumnya ia sempat singgah beberapa waktu lamanya di Harran. Pada rentang tahun 910-920 ia kembali ke Bagdad dan di sana ia menemui Matta ibn Yunus, seorang filosof Nestorian, telah memiki reputasi yang tinggi dalam bidang filsafat dan mampu menarik minat banyak orang dalam kuliah-kuliah umumnya tentang logika Aristotelian. Segera ia bergabung menjadi murid Matta. Akan tetapi, kecemerlangan al-Farabi dengan singkat mampu mengatasi reputasi gurunya dalam bidang logika.
Pada akhir tahun 942, ia pindah ke Damaskus karena situasi politik Bagdad yang memburuk. Dia sempat tinggal di sana selama dua tahun dimana waktunya siang hari digunakan untuk bekerja sebagai penjaga kebun dan malam hari dihabiskan untuk membaca dan menulis karya-karya filsafat. Dengan alasan yang sama, ia pindah ke Mesir untuk pada akhirnya kembali lagi ke Damaskus pada tahun 949. Selama masa tinggal di Damaskus yang kedua ini al-Farabi mendapat perlindungan dari putra mahkota penguasa baru Siria, Saif al-Daulah (w. 967). Dalam perjumpaan pertamanya, Saif al-Daulah sangat terkesan dengan al-Farabi karena kemampuannya dalam bidang filsafat, bakat musiknya serta penguasaannya atas berbagai bahasa. Kehidupan sufi asketik yang dijalaninya membuatnya ia tetap berkehidupan sederhana dengan pikiran dan waktu yang tetap tercurah untuk karir filsafatnya. Akhirnya, pada bulan Desember 950, ia meninggal dunia di tempat ini (Damaskus) pada usia delapan puluh tahun
KONSTRIBUSI |
Al-Farabi
adalah seorang komentator filsafat Yunani yang ulung di dunia Islam. Meskipun
kemungkinan besar ia tidak bisa berbahasa Yunani, ia mengenal para filsuf
Yunani; Plato, Aristoteles dan Plotinus dengan baik.
Kontribusinya terletak di berbagai bidang seperti matematika, filosofi,
pengobatan, bahkan musik. Al-Farabi telah menulis berbagai buku tentang
sosiologi dan sebuah buku penting dalam bidang musik, Kitab al-Musiqa. Selain
itu, ia juga dapat memainkan dan telah menciptakan bebagai alat musik.
ilmu filsafat.
Dia adalah filsuf Islam pertama yang berupaya menghadapkan, mempertalikan dan sejauh mungkin menyelaraskan filsafat politik Yunani klasik dengan Islam serta berupaya membuatnya bisa dimengerti di dalam konteks agama-agama wahyu.
Al-Farabi hidup pada daerah otonomi di bawah pemerintahan Sayf al Dawla dan di zaman pemerintahan dinasti Abbasiyyah, yang berbentuk Monarki yang dipimpin oleh seorang Khalifah. Ia lahir dimasa kepemimpinan Khalifah Mu’tamid (869-892 M) dan meninggal pada masa pemerintahan Khalifah Al-Muthi’ (946-974 M) dimana periode tersebut dianggap sebagai periode yang paling kacau karena ketiadaan kestabilan politik.
Dalam kondisi demikian, al-Farabi berkenalan dengan pemikiran-pemikiran dari para ahli Filsafat Yunani seperti Plato dan Aristoteles dan mencoba mengkombinasikan ide atau pemikiran-pemikiran Yunani Kuno dengan pemikiran Islam untuk menciptakan sebuah negara pemerintahan yang ideal (Negara Utama).
ilmu filsafat.
Dia adalah filsuf Islam pertama yang berupaya menghadapkan, mempertalikan dan sejauh mungkin menyelaraskan filsafat politik Yunani klasik dengan Islam serta berupaya membuatnya bisa dimengerti di dalam konteks agama-agama wahyu.
Al-Farabi hidup pada daerah otonomi di bawah pemerintahan Sayf al Dawla dan di zaman pemerintahan dinasti Abbasiyyah, yang berbentuk Monarki yang dipimpin oleh seorang Khalifah. Ia lahir dimasa kepemimpinan Khalifah Mu’tamid (869-892 M) dan meninggal pada masa pemerintahan Khalifah Al-Muthi’ (946-974 M) dimana periode tersebut dianggap sebagai periode yang paling kacau karena ketiadaan kestabilan politik.
Dalam kondisi demikian, al-Farabi berkenalan dengan pemikiran-pemikiran dari para ahli Filsafat Yunani seperti Plato dan Aristoteles dan mencoba mengkombinasikan ide atau pemikiran-pemikiran Yunani Kuno dengan pemikiran Islam untuk menciptakan sebuah negara pemerintahan yang ideal (Negara Utama).
Tentang Pemimpin
Dengan prinsip yang sama, seorang pemimpin negara merupakan bagian yang paling penting dan paling sempurna di dalam suatu negara. Menurut Al Farabi, pemimpin adalah seorang yang disebutnya sebagai filsuf yang berkarakter Nabi yakni orang yang mempunyai kemampuan fisik dan jiwa (rasionalitas dan spiritualitas).
Disebutkan adanya pemimpin generasi pertama (the first one – dengan segala kesempurnaannya (Imam) dan karena sangat sulit untuk ditemukan (keberadaannya) maka generasi kedua atau generasi selanjutnya sudah cukup, yang disebut sebagai (Ra’is) atau pemimpin golongan kedua. Selanjutnya al-Farabi mengingatkan bahwa walaupun kualitas lainnya sudah terpenuhi , namun kalau kualitas seorang filsufnya tidak terpenuhi atau tidak ambil bagian dalam suatu pemerintahan, maka Negara Utama tersebut bagai “kerajaan tanpa seorang Raja”. Oleh karena itu, Negara dapat berada diambang kehancuran.
Dengan prinsip yang sama, seorang pemimpin negara merupakan bagian yang paling penting dan paling sempurna di dalam suatu negara. Menurut Al Farabi, pemimpin adalah seorang yang disebutnya sebagai filsuf yang berkarakter Nabi yakni orang yang mempunyai kemampuan fisik dan jiwa (rasionalitas dan spiritualitas).
Disebutkan adanya pemimpin generasi pertama (the first one – dengan segala kesempurnaannya (Imam) dan karena sangat sulit untuk ditemukan (keberadaannya) maka generasi kedua atau generasi selanjutnya sudah cukup, yang disebut sebagai (Ra’is) atau pemimpin golongan kedua. Selanjutnya al-Farabi mengingatkan bahwa walaupun kualitas lainnya sudah terpenuhi , namun kalau kualitas seorang filsufnya tidak terpenuhi atau tidak ambil bagian dalam suatu pemerintahan, maka Negara Utama tersebut bagai “kerajaan tanpa seorang Raja”. Oleh karena itu, Negara dapat berada diambang kehancuran.
IBNU SINA
Syeikhur Rais, Abu Ali Husein bin Abdillah bin
Hasan bin Ali bin Sina, yang dikenal dengan sebutan Ibnu Sina atau Aviciena
lahir pada tahun 370 hijriyah di sebuah desa bernama Khormeisan dekat Bukhara.
Sejak masa kanak-kanak, Ibnu Sina yang berasal dari keluarga bermadzhab
Ismailiyah sudah akrab dengan pembahasan ilmiah terutama yang disampaikan oleh
ayahnya. Kecerdasannya yang sangat tinggi membuatnya sangat menonjol sehingga
salah seorang guru menasehati ayahnya agar Ibnu Sina tidak terjun ke dalam
pekerjaan apapun selain belajar dan menimba ilmu.
Dengan demikian, Ibnu Sina secara penuh memberikan perhatiannya kepada aktivitas keilmuan. Kejeniusannya membuat ia cepat menguasai banyak ilmu, dan meski masih berusia muda, beliau sudah mahir dalam bidang kedokteran. Beliau pun menjadi terkenal, sehingga Raja Bukhara Nuh bin Mansur yang memerintah antara tahun 366 hingga 387 hijriyah saat jatuh sakit memanggil Ibnu Sina untuk merawat dan mengobatinya.
Berkat itu, Ibnu Sina dapat leluasa masuk ke perpustakaan istana Samani yang besar. Ibnu Sina mengenai perpustakan itu mengatakan demikian;
“Semua buku yang aku inginkan ada di situ. Bahkan aku menemukan banyak buku yang kebanyakan orang bahkan tak pernah mengetahui namanya. Aku sendiri pun belum pernah melihatnya dan tidak akan pernah melihatnya lagi. Karena itu aku dengan giat membaca kitab-kitab itu dan semaksimal mungkin memanfaatkannya... Ketika usiaku menginjak 18 tahun, aku telah berhasil menyelesaikan semua bidang ilmu.” Ibnu Sina menguasai berbagai ilmu seperti hikmah, mantiq, dan matematika dengan berbagai cabangnya.
Kesibukannya di pentas politik di istana Mansur, raja dinasti Samani, juga kedudukannya sebagai menteri di pemerintahan Abu Tahir Syamsud Daulah Deilami dan konflik politik yang terjadi akibat perebutan kekuasaan antara kelompok bangsawan, tidak mengurangi aktivitas keilmuan Ibnu Sina. Bahkan safari panjangnya ke berbagai penjuru dan penahanannya selama beberapa bulan di penjara Tajul Muk, penguasa Hamedan, tak menghalangi beliau untuk melahirkan ratusan jilid karya ilmiah dan risalah.
Ketika berada di istana dan hidup tenang serta dapat dengan mudah memperoleh buku yang diinginkan, Ibnu Sina menyibukkan diri dengan menulis kitab Qanun dalam ilmu kedokteran atau menulis ensiklopedia filsafatnya yang dibeni nama kitab Al-Syifa’. Namun ketika harus bepergian beliau menulis buku-buku kecil yang disebut dengan risalah. Saat berada di dalam penjara, Ibnu Sina menyibukkan diri dengan menggubah bait-bait syair, atau menulis perenungan agamanya dengan metode yang indah.
Di antara buku-buku dan risalah yang ditulis oleh Ibnu Sina, kitab al-Syifa’ dalam filsafat dan Al-Qanun dalam ilmu kedokteran dikenal sepanjang massa. Al-Syifa’ ditulis dalam 18 jilid yang membahas ilmu filsafat, mantiq, matematika, ilmu alam dan ilahiyyat. Mantiq al-Syifa’ saat ini dikenal sebagai buku yang paling otentik dalam ilmu mantiq islami, sementara pembahasan ilmu alam dan ilahiyyat dari kitab al-Syifa’ sampai saat ini juga masih menjadi bahan telaah.
Dalam ilmu kedokteran, kitab Al-Qanun tulisan Ibnu Sina selama beberapa abad menjadi kitab rujukan utama dan paling otentik. Kitab ini mengupas kaedah-kaedah umum ilmu kedokteran, obat-obatan dan berbagai macam penyakit. Seiring dengan kebangkitan gerakan penerjemahan pada abad ke-12 masehi, kitab Al-Qanun karya Ibnu Sina diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Kini buku tersebut juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Prancis dan Jerman. Al-Qanun adalah kitab kumpulan metode pengobatan purba dan metode pengobatan Islam. Kitab ini pernah menjadi kurikulum pendidikan kedokteran di universitas-universitas Eropa.
Ibnu juga memiliki peran besar dalam mengembangkan berbagai bidang keilmuan. Beliau menerjemahkan karya Aqlides dan menjalankan observatorium untuk ilmu perbintangan. Dalam masalah energi Ibnu Sina memberikan hasil penelitiannya akan masalah ruangan hampa, cahaya dan panas kepada khazanah keilmuan dunia.
Dikatakan bahwa Ibnu Sina memiliki karya tulis yang dalam bahasa latin berjudul De Conglutineation Lagibum. Dalam salah bab karya tulis ini, Ibnu Sina membahas tentang asal nama gunung-gunung. Pembahasan ini sungguh menarik. Di sana Ibnu Sina mengatakan, “Kemungkinan gunung tercipta karena dua penyebab. Pertama menggelembungnya kulit luar bumi dan ini terjadi lantaran goncangan hebat gempa. Kedua karena proses air yang mencari jalan untuk mengalir. Proses mengakibatkan munculnya lembah-lembah bersama dan melahirkan penggelembungan pada permukaan bumi. Sebab sebagian permukaan bumi keras dan sebagian lagi lunak. Angin juga berperan dengan meniup sebagian dan meninggalkan sebagian pada tempatnya. Ini adalah penyebab munculnya gundukan di kulit luar bumi.”
Ibnu Sina dengan kekuatan logikanya -sehingga dalam banyak hal mengikuti teori matematika bahkan dalam kedokteran dan proses pengobatan- dikenal pula sebagai filosof tak tertandingi. Menurutnya, seseorang baru diakui sebagai ilmuan, jika ia menguasai filsafat secara sempurna. Ibnu Sina sangat cermat dalam mempelajari pandangan-pandangan Aristoteles di bidang filsafat. Ketika menceritakan pengalamannya mempelajari pemikiran Aristoteles, Ibnu Sina mengaku bahwa beliau membaca kitab Metafisika karya Aristoteles sebanyak 40 kali. Beliau menguasai maksud dari kitab itu secara sempurna setelah membaca syarah atau penjelasan ‘metafisika Aristoteles’ yang ditulis oleh Farabi, filosof muslim sebelumnya.
Dalam filsafat, kehidupan Abu Ali Ibnu Sina mengalami dua periode yang penting. Periode pertama adalah periode ketika beliau mengikuti faham filsafat paripatetik. Pada periode ini, Ibnu Sina dikenal sebagai penerjemah pemikiran Aristoteles. Periode kedua adalah periode ketika Ibnu Sina menarik diri dari faham paripatetik dan seperti yang dikatakannya sendiri cenderung kepada pemikiran iluminasi.
Berkat telaah dan studi filsafat yang dilakukan para filosof sebelumnya semisal Al-Kindi dan Farabi, Ibnu Sina berhasil menyusun sistem filsafat islam yang terkoordinasi dengan rapi. Pekerjaan besar yang dilakukan Ibnu Sina adalah menjawab berbagai persoalan filsafat yang tak terjawab sebelumnya.
Pengaruh pemikiran filsafat Ibnu Sina seperti karya pemikiran dan telaahnya di bidang kedokteran tidak hanya tertuju pada dunia Islam tetapi juga merambah Eropa. Albertos Magnus, ilmuan asal Jerman dari aliran Dominique yang hidup antara tahun 1200-1280 Masehi adalah orang Eropa pertama yang menulis penjelasan lengkap tentang filsafat Aristoteles. Ia dikenal sebagai perintis utama pemikiran Aristoteles Kristen. Dia lah yang mengawinkan dunia Kristen dengan pemikiran Aristoteles. Dia mengenal pandangan dan pemikiran filosof besar Yunani itu dari buku-buku Ibnu Sina. Filsafat metafisika Ibnu Sina adalah ringkasan dari tema-tema filosofis yang kebenarannya diakui dua abad setelahnya oleh para pemikir Barat.
Ibnu Sina wafat pada tahun 428 hijriyah pada usia 58 tahun. Beliau pergi setelah menyumbangkan banyak hal kepada khazanah keilmuan umat manusia dan namanya akan selalu dikenang sepanjang sejarah. Ibnu Sina adalah contoh dari peradaban besar Iran di zamannya.
Dengan demikian, Ibnu Sina secara penuh memberikan perhatiannya kepada aktivitas keilmuan. Kejeniusannya membuat ia cepat menguasai banyak ilmu, dan meski masih berusia muda, beliau sudah mahir dalam bidang kedokteran. Beliau pun menjadi terkenal, sehingga Raja Bukhara Nuh bin Mansur yang memerintah antara tahun 366 hingga 387 hijriyah saat jatuh sakit memanggil Ibnu Sina untuk merawat dan mengobatinya.
Berkat itu, Ibnu Sina dapat leluasa masuk ke perpustakaan istana Samani yang besar. Ibnu Sina mengenai perpustakan itu mengatakan demikian;
“Semua buku yang aku inginkan ada di situ. Bahkan aku menemukan banyak buku yang kebanyakan orang bahkan tak pernah mengetahui namanya. Aku sendiri pun belum pernah melihatnya dan tidak akan pernah melihatnya lagi. Karena itu aku dengan giat membaca kitab-kitab itu dan semaksimal mungkin memanfaatkannya... Ketika usiaku menginjak 18 tahun, aku telah berhasil menyelesaikan semua bidang ilmu.” Ibnu Sina menguasai berbagai ilmu seperti hikmah, mantiq, dan matematika dengan berbagai cabangnya.
Kesibukannya di pentas politik di istana Mansur, raja dinasti Samani, juga kedudukannya sebagai menteri di pemerintahan Abu Tahir Syamsud Daulah Deilami dan konflik politik yang terjadi akibat perebutan kekuasaan antara kelompok bangsawan, tidak mengurangi aktivitas keilmuan Ibnu Sina. Bahkan safari panjangnya ke berbagai penjuru dan penahanannya selama beberapa bulan di penjara Tajul Muk, penguasa Hamedan, tak menghalangi beliau untuk melahirkan ratusan jilid karya ilmiah dan risalah.
Ketika berada di istana dan hidup tenang serta dapat dengan mudah memperoleh buku yang diinginkan, Ibnu Sina menyibukkan diri dengan menulis kitab Qanun dalam ilmu kedokteran atau menulis ensiklopedia filsafatnya yang dibeni nama kitab Al-Syifa’. Namun ketika harus bepergian beliau menulis buku-buku kecil yang disebut dengan risalah. Saat berada di dalam penjara, Ibnu Sina menyibukkan diri dengan menggubah bait-bait syair, atau menulis perenungan agamanya dengan metode yang indah.
Di antara buku-buku dan risalah yang ditulis oleh Ibnu Sina, kitab al-Syifa’ dalam filsafat dan Al-Qanun dalam ilmu kedokteran dikenal sepanjang massa. Al-Syifa’ ditulis dalam 18 jilid yang membahas ilmu filsafat, mantiq, matematika, ilmu alam dan ilahiyyat. Mantiq al-Syifa’ saat ini dikenal sebagai buku yang paling otentik dalam ilmu mantiq islami, sementara pembahasan ilmu alam dan ilahiyyat dari kitab al-Syifa’ sampai saat ini juga masih menjadi bahan telaah.
Dalam ilmu kedokteran, kitab Al-Qanun tulisan Ibnu Sina selama beberapa abad menjadi kitab rujukan utama dan paling otentik. Kitab ini mengupas kaedah-kaedah umum ilmu kedokteran, obat-obatan dan berbagai macam penyakit. Seiring dengan kebangkitan gerakan penerjemahan pada abad ke-12 masehi, kitab Al-Qanun karya Ibnu Sina diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Kini buku tersebut juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Prancis dan Jerman. Al-Qanun adalah kitab kumpulan metode pengobatan purba dan metode pengobatan Islam. Kitab ini pernah menjadi kurikulum pendidikan kedokteran di universitas-universitas Eropa.
Ibnu juga memiliki peran besar dalam mengembangkan berbagai bidang keilmuan. Beliau menerjemahkan karya Aqlides dan menjalankan observatorium untuk ilmu perbintangan. Dalam masalah energi Ibnu Sina memberikan hasil penelitiannya akan masalah ruangan hampa, cahaya dan panas kepada khazanah keilmuan dunia.
Dikatakan bahwa Ibnu Sina memiliki karya tulis yang dalam bahasa latin berjudul De Conglutineation Lagibum. Dalam salah bab karya tulis ini, Ibnu Sina membahas tentang asal nama gunung-gunung. Pembahasan ini sungguh menarik. Di sana Ibnu Sina mengatakan, “Kemungkinan gunung tercipta karena dua penyebab. Pertama menggelembungnya kulit luar bumi dan ini terjadi lantaran goncangan hebat gempa. Kedua karena proses air yang mencari jalan untuk mengalir. Proses mengakibatkan munculnya lembah-lembah bersama dan melahirkan penggelembungan pada permukaan bumi. Sebab sebagian permukaan bumi keras dan sebagian lagi lunak. Angin juga berperan dengan meniup sebagian dan meninggalkan sebagian pada tempatnya. Ini adalah penyebab munculnya gundukan di kulit luar bumi.”
Ibnu Sina dengan kekuatan logikanya -sehingga dalam banyak hal mengikuti teori matematika bahkan dalam kedokteran dan proses pengobatan- dikenal pula sebagai filosof tak tertandingi. Menurutnya, seseorang baru diakui sebagai ilmuan, jika ia menguasai filsafat secara sempurna. Ibnu Sina sangat cermat dalam mempelajari pandangan-pandangan Aristoteles di bidang filsafat. Ketika menceritakan pengalamannya mempelajari pemikiran Aristoteles, Ibnu Sina mengaku bahwa beliau membaca kitab Metafisika karya Aristoteles sebanyak 40 kali. Beliau menguasai maksud dari kitab itu secara sempurna setelah membaca syarah atau penjelasan ‘metafisika Aristoteles’ yang ditulis oleh Farabi, filosof muslim sebelumnya.
Dalam filsafat, kehidupan Abu Ali Ibnu Sina mengalami dua periode yang penting. Periode pertama adalah periode ketika beliau mengikuti faham filsafat paripatetik. Pada periode ini, Ibnu Sina dikenal sebagai penerjemah pemikiran Aristoteles. Periode kedua adalah periode ketika Ibnu Sina menarik diri dari faham paripatetik dan seperti yang dikatakannya sendiri cenderung kepada pemikiran iluminasi.
Berkat telaah dan studi filsafat yang dilakukan para filosof sebelumnya semisal Al-Kindi dan Farabi, Ibnu Sina berhasil menyusun sistem filsafat islam yang terkoordinasi dengan rapi. Pekerjaan besar yang dilakukan Ibnu Sina adalah menjawab berbagai persoalan filsafat yang tak terjawab sebelumnya.
Pengaruh pemikiran filsafat Ibnu Sina seperti karya pemikiran dan telaahnya di bidang kedokteran tidak hanya tertuju pada dunia Islam tetapi juga merambah Eropa. Albertos Magnus, ilmuan asal Jerman dari aliran Dominique yang hidup antara tahun 1200-1280 Masehi adalah orang Eropa pertama yang menulis penjelasan lengkap tentang filsafat Aristoteles. Ia dikenal sebagai perintis utama pemikiran Aristoteles Kristen. Dia lah yang mengawinkan dunia Kristen dengan pemikiran Aristoteles. Dia mengenal pandangan dan pemikiran filosof besar Yunani itu dari buku-buku Ibnu Sina. Filsafat metafisika Ibnu Sina adalah ringkasan dari tema-tema filosofis yang kebenarannya diakui dua abad setelahnya oleh para pemikir Barat.
Ibnu Sina wafat pada tahun 428 hijriyah pada usia 58 tahun. Beliau pergi setelah menyumbangkan banyak hal kepada khazanah keilmuan umat manusia dan namanya akan selalu dikenang sepanjang sejarah. Ibnu Sina adalah contoh dari peradaban besar Iran di zamannya.
ABBAS BIN FIRNAS
Abbas Ibn Firnas atau
nama penuhnya Abbas Qassim Ibn Firnas dilahirkan pada tahun 811 M dari
keturunan Berber di Sepanyol. Menemui konsep kapal terbang pertama di dunia,
mencipta planetarium dan merekacipta kristal tiruan. Ibn Firnas mendahului
dunia penerbangan seribu tahun sebelum the Wright Brothers. Seorang pakar
sains, ahli teknologi dan ahli kimia. Ibn Firnas mendalami kimia, fizik, dan
astronomi. Pada tahun 852, seorang pemuda bernama Armen Firman terbang dari
menara di Cordova menggunakan jubah lebar seperti sayap untuk melambatkan
kelajuannya (penemuan payung terjun). Dia terselamat dengan kecederaan ringan,
dan Ibn Firnas hadir dan menyaksikannya. Pada tahun 875, pada usia 66 tahun Ibn
Firnas mencipta pelayangnya sendiri, dan melayang turun dari menara.
Penerbangan itu agak berjaya, dan disaksikan oleh kumpulan mereka
yang dijemputnya. Bagaimanapun, pendaratannya gagal. Belakangnya tercedera, dan
pengkritiknya menyatakan bahawa dia tidak mengambil kira cara burung mengepak
ketika terjunam, dan mendarat pada ekornya. Dia tidak menyediakan ekor, ataupun
cara pergerakan serupa itu. Ibn Firnas mencipta planetarium mekanikal dengan
planet-planet yang berputar. Dia juga membuat simulasi guruh dan kilat. Ibn
Firnas menyediakan jadual astronomi, mengarang
puisi, dan mereka jam air yang dikenali sebagai Al-Maqata.
puisi, dan mereka jam air yang dikenali sebagai Al-Maqata.
Dia juga mencipta kaedah menghasilkan kaca dari pasir. Dia
menghasilkan rantaian cincin yang boleh digunakan bagi menunjukkan pergerakan
planet dan bintang. Dia juga memajukan proses bagi memotong kristal batu. Ibn
Firnas meninggal dunia pada tahun 888 Masihi pada usia 77 tahun Libya
mengeluarkan setem sebagai menperingatinya.
Iraq membina memorial batu
bagi memperingati dirinya dalam perjalanan ke Lapangan Terbang Antarabangsa
Iraq, dan Lapangan Terbang Ibn Firnas di utara Baghdad dinamakan sempenan
namanya. Kawah Ibn Firnas di bulan juga dinamakan sempena namanya. Binaan
ukiran memorial batu Abbas Ibn Firnas dalam perjalanan ke Lapangan Terbang
Antarabangsa Ibn Firnas di Baghdad, Iraq
IBNU HAYYAN
Jabir ibn
Hayyan adalah ahli kimia, farmasi, fisika, filosoft, dan astronomi yang hidup
pada abad ke-7. Dia telah mampu mengubah persepsi berbagai kejadian alam yang
pada saat itu dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat diprediksi menjadi
sains yang dapat dimengerti dan dipelajari oleh manusia. Penemuan-penemuan di
bidang kimia juga menjadi landasan bagi perkembangan ilmu kimia dan
teknik kimia modern saat ini.
Jabir adalah ilmuwan yang menemukan asam klorida, asm nitrat, asam asetat, teknik distilasi, dan teknik kristalisasi. Dia juga menemukan larutan aqua regia, hasil penggabungan asam klorida dan asam nitrat untuk melarutkan emas.
Jabir mampu mengaplikasikan kemampuannya dibidang kimia ke dalam proses pembuatan besi dan logam lainnya, serta pencegahan karat. Dia juga mengaplikasikan penggunaan mangan dioksida pada pembuatan gelas kaca. Bahkan, dialah orang pertama yang mencatat bahwa pemanasan
Jabir adalah ilmuwan yang menemukan asam klorida, asm nitrat, asam asetat, teknik distilasi, dan teknik kristalisasi. Dia juga menemukan larutan aqua regia, hasil penggabungan asam klorida dan asam nitrat untuk melarutkan emas.
Jabir mampu mengaplikasikan kemampuannya dibidang kimia ke dalam proses pembuatan besi dan logam lainnya, serta pencegahan karat. Dia juga mengaplikasikan penggunaan mangan dioksida pada pembuatan gelas kaca. Bahkan, dialah orang pertama yang mencatat bahwa pemanasan
anggur
akan menimbulkan gas yang mudah terbakar. Hal inilah yang kemudian memberikan
jalan bagi Al-Razi untuk menemukan etanol.
Jika kita mengetahui kelompok metal dan non-metal dalam penggolongan kelompok senyawa, maka lihatlah apa yang pertama kali dilakukan Jabir. Dia mengajukan tiga kelompok senyawa berikut :
1.Spirit, yang menguap ketika dipanaskan, seperti campor arsen, dan ammonium klorida.
2.Metal, seperti emas, perak, timbal, tembaga dan besi.
3.Stones yang dapat dikonversi menjadi bentuk serbuk.
Pada abad pertengahan, penelitian-penelitian Jabir tentang kimia diterjemahkan kedalam bahasa latin dab menjadi buku teks standar untuk para ahli kimia di Eropa. Beberapa diantaranya adalah kitan Al-Kimya yang diterjemahkan pada 1144 dan Al-Sab’een yang edisi terjemahanya terbit pada 1187.
Beberapa tulisan Jabir juga diterjemahkan oleh Marcelin Berthelot ke dalam beberapa buku, yaitu Book of the kingdom, Book of the Balances, dan Book of Eastern Mercury. Beberapa istilah teknik yang ditemukan dan digunakan oleh Jabir juga telah menjadi bagian dari kosakata ilmiah di dunia internasional, misalnya istilah “alkali”, dan lain-lain
Jika kita mengetahui kelompok metal dan non-metal dalam penggolongan kelompok senyawa, maka lihatlah apa yang pertama kali dilakukan Jabir. Dia mengajukan tiga kelompok senyawa berikut :
1.Spirit, yang menguap ketika dipanaskan, seperti campor arsen, dan ammonium klorida.
2.Metal, seperti emas, perak, timbal, tembaga dan besi.
3.Stones yang dapat dikonversi menjadi bentuk serbuk.
Pada abad pertengahan, penelitian-penelitian Jabir tentang kimia diterjemahkan kedalam bahasa latin dab menjadi buku teks standar untuk para ahli kimia di Eropa. Beberapa diantaranya adalah kitan Al-Kimya yang diterjemahkan pada 1144 dan Al-Sab’een yang edisi terjemahanya terbit pada 1187.
Beberapa tulisan Jabir juga diterjemahkan oleh Marcelin Berthelot ke dalam beberapa buku, yaitu Book of the kingdom, Book of the Balances, dan Book of Eastern Mercury. Beberapa istilah teknik yang ditemukan dan digunakan oleh Jabir juga telah menjadi bagian dari kosakata ilmiah di dunia internasional, misalnya istilah “alkali”, dan lain-lain
AL KHWARIZMI
Abu Abdullah Muhammad Ibn Musa Al-Khwarizmi adalah seorang matematikawan
Muslim. Namanya merujuk tempat kelahiran di timur Laut Kaspia, berdekatan
dengan Delta Oxus (Amu Dar’ya) di atas Laut Aral wilayah Baghdad, pusat
penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Penulis sejarah matematika,
George Sarton mengungkap bahwa Al-Khwarizmi adalah seorang ilmuan muslim
terbesar dan terbaik, hingga menggolongkan periode antara abad IV – V sebagai Zaman
Al-Khwarizmi. Sementara E.Wiedermann mengatakan tugasnya adalah
mengungkapkan bahwa pribadi Al-Khwarizmi sebagai seorang ilmuan jenius. Smith
dan Karpinski menggambarkan pribadi Khwarizmi sebagai:
..tokoh terbesar pada masa keemasan Baghdad, salah
seorang penulis Muslim yang menggabungkan ilmu matematika klasik barat dan
timur, mengklasifikasikan dan akhirnya membangkitkan kesadaran dataran Eropa.
Pria ini adalah… peneliti besar dan sumbangsihnya terhadap ilmu aljabar dan
arithmatika sangat besar.
RIWAYAT HIDUP dan KARYANYA
Al-Khwarizmi diperkirakan hidup di pinggiran
Baghdad pada masa Khalifah al-Ma’mun (813 – 833) zaman Abasiyah, sebagai
anggota Bayt al Hikma Baghdad yang meneliti ilmu-ilmu pengetahuan dan
terjemah yang didirikan ayah al-Ma’mun. Pada masa Al-Khwarizmi hidup pula tokoh
lain yang juga ahli astronomi dan matematika seperti, Abu Ja’far Muhammad ibn
Musa al-Khwarizmi, salah satu dari tiga serangkai ‘Banu Musa ibn Shakir’ selain
Abdullah dan al-Khwarizmi sendiri. Hampir sebagian besar kesuksesan yang
dicapai al-Khwarizmi, seperti tulisan tentang astronomi dan aljabar
didedikasikan untuk al-Ma’mun. Di pihak lain, Khalifah yang dikenal juga
seorang ilmuan tokoh pengetahuan dan sahabat al-Khwarizmi ini memberikan
perhatian pada karya al-Khwarizmi dan memberikan berbagai penghargaan.
Al-Khwarizmi kemungkinan besar adalah satu-satunya
ahli astronomi yang diikutsertakan dalam proyek pimpinan al-Ma’mun untuk
mengukur panjang satu derajat lingkar bumi sepanjang garis busur. Sejak dia
mengetahui bahwa bumi berbentuk seperti bola, suatu nilai yang akurat untuk
mengetahui lingkar bumi telah dicapai, yaitu panjang satu derajat dikalikan
dengan 360.
Al-Khwarizmi diungkapkan mencoba untuk membuat
ramalan tentang masa hidup Nabi Muhammad SAW melalui ilmu astronomi. Dia hitung
secara cermat waktu Nabi dilahirkan. Ia termasuk salah seorang ahli
perbintangan yang bekerjasama membuat sebuah Peta Dunia untuk memenuhi
permintaan al-Ma’mun, lalu terkenal dalam pembuatan Peta Ptolemy.
Sebagai “Bapak Ilmu Pengetahuan Aljabar” dia
menulis buku berjudul Algebra, yang kemudian diklasifikasi
oleh para sejarawan matematika sebagai Dasar-dasar Pengetahuan Matematika.
Al-Khwarizmi adalah orang yang pertama kali memperkenalkan ilmu aljabar dalam
suatu bentuk dasar yang dapat diterapkan dalam hidup sehari-hari. Hal ini
berbeda dengan konsep aljabar Diophantus yang lebih cenderung menggunakan
aljabar untuk aplikasi teori-teori bilangan. Penamaan tersebut bukan berasal
dari tulisan karya Al-Khwarizmi dan bukan “Aritmatika” yang merupakan
tulisan Diophantus. Para ahli ilmu pasti kuno (termasuk Yunani)
mempertimbangkan bilangan sebagai suatu besaran. Ini terjadi ketika
Al-Khwarizmi memberi pemahaman angka sebagai sebuah hubungan murni di era
modern dimana ilmu pengetahuan aljabar salah satu bagiannya.
Karya Al-Khwarizmi berjudul Kitab al-Jabr
w’al-muqabalah (The Book of Restoring and Balancing) menjadi
titik awal aljabar dalam dunia Islam. Kata aljabar ini digunakan di
dunia Barat untuk obyek yang sama. Menurut Kasir (1931), kata aljabar berasal
dari tulisan Al-Khwarizmi yang mencantumkan ’al-jab’ sebagai judulnya.
Tulisan ini diterjemahkan (abad XII) ke dalam bahasa Latin oleh Gerhard Cremona
dan Robert Chester, dimana buku ini digunakan sebagai buku wajib matematika
dasar di Eropa hingga abad XVI.
Pengaruh lain yang berkait dengan ilmu matematika
adalah suku kata ”algoritm” yang dikonotasi sebagai sebuah prosedur baku
dalam menghitung sesuatu. Kata ini berasal dari perubahan versi Al-Khwarizmi ke
versi Latin ‘algorismi’, ‘algorism’ dan akhirnya menjadi ’algorithm’.
Angka yang tertera dalam setiap halaman tulisan adalah salah satu bukti
peran Al-Khwarizmi dalam aritmatika. Tulisan aritmatika berbahasa Arab yang
pertama kali diterjemah ke bahasa Latin berperan penting dalam perkembangan
bilangan Arab dan sistem bilangan yang diterapkan saat ini. Bahwa penggunaan
sistem bilangan Arab dan notasi penulisan basis sepuluh, telah diperkenalkan
oleh Al-Khwarizmi, dapat dikatakan sebagai suatu revolusi perhitungan di abad
pertengahan bagi bangsa Eropa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar